Quo Vadis SMAK Giovanni Kupang;


Sebuah Refleksi  pada
HUT ke-57
(R.Riantoby). 




Pada hari ini 8 September 2019 SMAK Giovanni Kupang genap berusia 57 tahun.  Perjalanan waktu yang sudah lama ini tentunya menuai hasil, baik yang menggembirakan ataupun yang kurang menyenangkan.  Eksistensi pendidikan yang  merupakan “homo humanis”, proses memanusiakan manusia menjadi landasan  perjuangan SMAK Giovanni sehingga pada HUT ke- 57 ini dijadikan momen permenungan. Karena seperti yang kita ketahui  bersama bahwa  upacara HUT suatu lembaga pendidikan, senantiasa mengandung  makna evaluatif.  Pada satu sisi, HUT tersebut menjadi saat  permenungan untuk menilai  hal-hal yang telah dilakukan;  kemajuan  yang telah kita capai dan hambatan-hambatan  yang mengitari  program kita. 
Sikap ini merupakan suatu tahap dari proses pematangan dan pendewasaan diri, baik dalam konteks  menejemen   sekolah maupun dalam konteks kelembagaan secara keseluruhan.  Proses pematangan dan pendewasaan diri  oleh karena  dengan melakukan evaluasi itu, kita akan semakin sadar terutama atas segala kekurangan kita yang masih menyertai perjalanan  dalam mengembangkan lembaga kita yang tercinta ini.  Kesadaran akan kekurangan ini dapat memicu kita dan bukan buaian keberhasilan yang dapat menjadikan motivasi untuk menjadi lebih matang dan lebih dewasa.
            Pada sisi lain, HUT juga mengandung makna sebagai saat untuk membuat perhitungan yang lebih tepat dalam menghadapi gelombang era baru pada masa yang akan datang.  Saat di mana kita akan memandang hari esok dengan sikap yang penuh harapan dan penuh optimis tanpa kehilangan arah walaupun sedang gundah gulana dalam keprihatinan akan kekurangan kita dan menemukan kekuatan yang kita miliki sehingga kita dapat mengetahui apa yang layak kita rencanakan dan kita lakukan sesuai dengan kemampuan nyata yang kita miliki itu. Dalam hubungan ini, sepantasnya, kita mengembangkan niat dan asa kita yng kuat untuk mengubah  kekurangan kita menjadi kekuatan dan tantangan kita menjadi peluang.
            Dengan memahami kedua makna ini, bukan saja upacara HUT ke-57 SMAK Giovanni  yang kita ayubahagiakan bersama pada hari ini yang begitu meriah sekaligus tidak terjebak  pada kerutinan seremonial belaka.
            Kalau kita mencermati beberapa rangkaian kegiatan menyongsong HUT SMAK Giovanni, seperti pertandingan-pertandingan, jalan santai, kunjungan para alumni dan pucak pada hari ini dengan ucapan syukur lewat misa agung dan rangkaian acara hiburan  di atas pentas  mengandung  spiritualitas  “For and with others” ( Untuk dan bersama yang lain).  Aristoteles, seorang filsuf besar pernah mengingatkan kita bahwa  manusia pada hakikatnya adalah makluk Zoon politicon. Makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendiri tetapi sangat tergantung pada manusia lain. Itulah sebabnya UNESCO  mencanangkan 4 pilar penyangga pendidikan yakni:  Learning to know, learning to do, learning to be, learning  to live together demi terwujudnya mastery learning maupun meaningful learning.  Artinya, pembelajaran boleh dikatakan tuntas dan bermakna apabila dengan belajar sesuatu, orang bisa belajar apa saja untuk bisa melakukan apa saja sehingga bisa menjadi apa saja yang bermuara  demi kehidupan bersama yang lebih baik atau bonum commune.  Belajar sesuatu tetapi kehilangan maknanya bagi kehidupan bersama  yang lebih baik apalah artinya.
            Tentunya  kita masih ingat sejarah tentang Hirosima dan Nagasaki. Albert Einstain meneteskan air matanya  karena berkat penemuan atom  yang sebenarnya demi kebaikan umat manusia tetapi disalahgunakan dengan membumihanguskan kedua kota ini di Jepang pada  bulan Agustus 1945. Atau ilmuwan Alfred Nobel, berkat penemuan  dinamit  yang digunakan untuk memahati tebing-tebing yang mengandung biji emas. Dengan dinamit bukit yang mengandung  biji emas tidak perlu dikerjakan secara manul  dengan memahat sedikit demi sedikit  tetapi  diledakan.  Maksud awal yang baik dalam perkembangannya ternyata  penemuan Alfred Nobel disalahgunakan  menjadi pemusnah massa. Akhirnya dengan sesal dia menghibahkan seluruh kekayaannya yang diperoleh dari hasil penemuan dinamit dengan memberikan hadiah Nobel bagi siapa saja yang berhasil  menciptakan kehidupan yang damai di bumi ini.  Sejak itulah kita kenal para peraih NOBEL dari pelbagai disiplin ilmu  dan dari  sisi kehidupan.
            Untuk itu, mari kita bertanya apakah di lembaga kita, dalam  proses pembelajaran  kita hindari  arena persaingan yang sengit di antara peserta didik sehingga spritualitas “For Man and With  Others” diabaikan? Pada mulanya sejak siswa masuk ke jenjang pendidikan formal, seorang anak dikondisikan belajar dalam suasana kompetisi dan berjuang keras memenangkan kompetisi tersebut untuk bisa naik kelas atau lulus ujian. Dalam model pembelajaran kompetisi, siswa belajar dalam suasana persaingan. Tidak jarang guru memakai imbalan dan ganjaran sebagai sarana untuk memotivasi siswa dalam memenangkan kompetisi dengan sesama peserta didik. Teknik imbalan dan ganjaran yang didasari oleh teori belajar behaviorisme   atau stimulus-respon banyak mewarnai sistem penilaian hasil belajar.  Tujuan utama evaluasi dalam model pembelajaran kompetisi adalah menempatkan  peserta didik dalam urutan  mulai dari yang paling baik sampai yang paling jelek. Pola penilaian biasanya menempatkan sebagaian besar anak dalam kategori rata-rata, sebagian dalam kategori anak berprestasi dan sebagian lagi sebagai kategori anak yang gagal. Akibat langsungnya  adalah sebagian besar peserta didik harus melewati sedikitnya 12 tahun dalam masa  hidup mereka sebagai anak yang rata-rata atau biasa saja.  Mereka tidak pernah merasakan kebanggan sebagai anak berprestasi  merasa kalah dalam persaingan bisa menjadi  antipati terhadap teman, guru, sekolah dan proses belajar.  Bahkan,  sikap semcam ini  terbawa sampai   pada dunia kerja.  Pada hal untuk bisa berhasil dalam dunia kerja butuh kerja sama dalam tim sehingga keberhasilan sebuah lembaga, perusahaan menjadi keberhasil pribadi  para anggotanya.  Apakah dalam hal ini sehingga  Ivan Illich dalam bukunya  “Deschooling Soceity” (Pembebasan sekolah dari masyarakat) menegaskan bahwa sekolah seakan-akan menjadi bom waktu yang suatu saat akan meledak.  Atau pendapat Paul Freire yang hasil penemuan penelitian di dunia yang sedang berkembang menyimpulkan bahwa  pendidikan  itu justru membodohkan anak bukan memerdekakan anak.
Ada sebuah penelitian yang menyimpulkan bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh 20 nilai karkter.  Dari 20 nilai itu yang mendapat 3 urutan besar yaitu berkomunikasi, kejujuran dan kerja sama.
            Untuk menyikapi  pembentukan  sifat sosial “for  and with others”,  sekolah mengusung aneka  strategi seperti tawaran  dalm Kurikulum 2013 model  pembelajaran  yang digunakan dalam proses pembelajaran seperti : Coopertive learning, problem solving leraning.  Demikian juga diadakan kegiatan live in, outbond,  aksi sosial, memberi tali kasih dalam duka dan gembira,  penggiatan kolekte, aksi solidaritas,dll.
            Karena itu, lembaga pendidikan  khususnya satuan pendidikan perlu merevitalisasi diri dalam upaya meningkatkan  kinerjanya sebagai lembaga pewaris nilai-nilai yang menjunjung tinggi sesama antara lain,
Pertama, mengedepankan  dan menekankan aspek moral, cinta dan  iman atau bagi SMAK Giovanni  yaitu LOVE,  SERVICE, OBIDIENCE.
            Kedua, peserta didik mendapat pengalaman nyata  akan nilai demokrasi dan  perbedaan.  Peserta didik diberi pemahaman bahwa sesamanya adalah harta berharga dalam hidup dan kehidupannya.
            Ketiga, para pendidik dilabelkan tugas mulia yaitu memanusiakan manusia muda dan  senantiasa menciptakan sebuah komunitas moral, memberi teladan tempat peserta didik menemukan kesebangunan antara perkataan dan perbuatan (Non verba sed Fakta).
            Dengan memaknai Doa Bapa Kami yang di dalamnya terungkap “berilah kami rejeki pada hari ini” terkandung maksud di dalam doa itu niat kita untuk mendapatkan rejeki, kita akan memperoleh berkah untuk kita dan juga menjadi berkah untuk sesama.  Maka benarlah ungkapan “ No Man is An Island”. Tidak ada seorang pun yang bagaikan pulau yang berdiri sendiri.  Manusia ada karena ada bersama serta demi yang lain.  Maka jadilah orang bersama bagi yang lain “To be a man for and with  others”.  
           


page