Pagi ini (Selasa,13/8/2019)suasana di
SDK Don Bosko 2 sangat bersahabat. Anak-anak
berbaris secara rapi dan teratur di halaman sekolah. Guru kelas 1, ibu Tres memimpin barisan dengan
senam dan menyanyikan lagu-lagu anak untuk menghangatkan situsi dan member nuansa
menyenangkan. Satu persatu anak masuk ke kelas masing-masing dengan tertib. Tak lama kemudian terdengar suara yang
mengajak semua makhluk ciptaan Tuhan untuk melambungkan doa pagi dan mendengarkan
Injil Tuhan dan renungan.
Saat doa pagi, ibu kepala sekolah belum nampak.
Guru-guru menuju ke kelas masing-masing untuk pelajaran jam pertama. Tidak terdengar
nyanyian anak-anak di kelas, yang kedengaran suara guru untuk memberikan informasi
dan juga ada yang memberikan apersepsi pembelajaran hari ini. Sambil mengamati situasi di halaman sekolah saat
itu juga jawaban muncul di mana keberadaan kepala sekolah. Ibu Yo sapaan sehari-hari yang kini menjadi penjabat
kepala sekolah terlihat sedang merawat bunga-bunga yang ada di depan kelas. Ternyata bunga-bunga itu dibawa anak-anak untuk
memberikan keindahan di masing-masing depan kelas. Ibu Yo menandaskan bahwa anak-anak dilatih untuk
merawat bunga sehingga akan menjadi kecintaan mereka. Ini juga akan membangun karakter anak akan kepedulian
terhadap lingkungan.
Lebih lanjut Ibu Yo menyampaikan bahwa sekarang
dia harus banyak belajar. Sebagai penjabat kepala sekolah yang baru membutuhkan
data, informasi untuk dijadikan sebagai dasar memberikan pembinaan kepada
guru-guru dan juga informasi kepada orang tua anak untuk bersama-sama mendampingi
anak belajar.
Pengalaman di lapangan menunjukan bahwa ada kesenjangan
antara kurikulum yang direncanakan dengan pelaksanaan di lapangan. Ketika Kurikulum 2013 bergulir, guru dihadapkan dengan berbagai persoalan pada
bahasa kedinasan yang kurang mempertimbangan kualifikasi dan keprofesian
guru. Yang paling diutamakan adalah penekanan
administrasi yang dipahami guru secara tidak komperhensif. Guru belajar seolah-olah tentang kurikulum, yang penting apa yang ada dalam buku
pegangan diajarkan kepada anak. Kecendrungan
penekanan kurikulum 2013 pada less is
more kurang diindahkan, “anak tahu sedikit
tentang hal yang banyak”. Padahalprinsip
less is more agar lebih banyak diberi kesempatan kepada anak memiliki banyak waktu
untuk bereksplorasi, menemukan sendiri dan mengolah materi yang dipelajari secara
kritis dan reflektif. Landasan ini akan dijadikan
dasar bagi Ibu Yo bersama denga para guru meningkatkan mutu pendidikan di SDK
Don Bosko 2.
Sambil berdiskusi dengan Ibu Yo, di sela-sela jendela
terlihat anak-anak kelas 4 SDK Don Bosko 2 sedang belajar matematika. Guru kelasnya Ibu Meli menggunakan metode diskusi. Anak-anak duduk berkelompok sambil mendiskusikan
pemecahan soal matematika yang diberikan ibu gurunya. Ketika ditanya apakah proses pembelajaran selama
ini hanya terjadi dalam kelas atau juga sering belajar di luar kelas. Ternyata anak-anak juga belajar di luar kelas
seperti materi sumber energy. Anak-anak mempraktikan
membuat kincir angin. Untuk membuktikan sumber
energy angin menggerakan kincir angin anak- anak membawa lari kincir angin dan pada
saat itu juga kincir angin akan berputar sebagai salah satu bukti angin sebagai
sumber energy.
Cherry salah
seorang siswa kelas 4 sangat senang belajar sambil mempraktikan. Setelah kami praktikan baru kami mengambil kesimpulan,
demikian Leonard menambahkan.
Proses pembelajaran bukan hanya terjadi di kelas saja
tetapi juga di luar kelas. Hampir setiap kunjungan ke sekolah jarang ditemukan seorang
guru membawa anak belajar di luar kelas.
Apakah karena situasi yang tidak memungkinkan, halamannya sempit,
situasi di luar ribut. Proses
pembelajaran tidak selamanya membutuhkan situasi di sekitar anak tenang, yang
paling dibutuhkan adalah bagaimana guru menciptakan situasi batin anak tenang.
Anak diajak untuk berkonsentrasi tenang dengan dirinya dan lingkungannya. Dengan demikian tahap awal proses
pembelajaran tercipta yaitu anak berkonsentrasi, memfokuskan pikirannya pada objek
pembelajaran.
Seorang
anak belajar secara akademik yang merupakan salah satu aspek penting dalam
rangka anak itu mengembangkan kemampuan berpikir, kecerdasan emosi dan bahasa serta
kemampuan motorik kasar maupun motorik halusnya. Aspek ini menjadi pembekalan anak untuk mengembangkan
life skill untuk menghidupi hidup dan kehidupannya di masa depan. Untuk itu, seorang guru dituntut untuk mengenal
secara personal bagaimana gaya pembelajaran anak. Setiap anak tentunya mempunyai gaya pembelajaran
yang tidak sama.
Ada tiga gaya pembelajaran anak yang perlu diketahui
oleh seorang guru. Pertama, visual yaitu
belajar dengan caramelihat. Guru diminta memilih model pembelajaran yang sesuai
dengangaya pembelajaran anak. Guru sebaiknya lebih menggunakan media pembelajaran
atau alat peraga. Dengan menunjukan alat
peraga atau menayangkan lewat LCD anak-anak lebih cepat menangkap materi yang
diajarkan. Di dalam kelas anak
visual lebih suka mencatat sampai detail untuk mendapatkan informasi.
Kedua, Auditori yaitu belajar dengan cara mendengarkan. Anak yang bertipe auditori mengandalkan keberhasiln
belajar melalui telinga. Untuk itu,
metode diskusi yang digunakan guru sangat cocok. Anak auditori lebih senang belajar berkelompok
dari pada belajar mandiri.
Ketiga, kinestetik yaitu belajar dengan cara bergerak,
bekerja dan menyentuh. Anak yang belajar
kinestetik belajar melalui bergerak, menyentuh dan melakukan. Anak-anak seperti ini tidak betah duduk berjam-jam,
keinginan untuk beraktivitas, eksplorasi lebih dominan. Untuk itu, anak-anak ditantang
dengan pemberian materi dan praktik agar anak mengeksplorasi dan menemukan sendiri
pendalaman materi yang di berikan gurunya.
Dengan
berpedoman pada tiga gaya belajar anak maka guru dituntut untuk memilih dan menggunakan
model pembelajaran, pendekatan pembelajaran dan metode yang digunakan harus disesuaikan
dengan karakteristik anak. Karakteristik
anak dan lingkungan dapat dijadikan pertimbangan dalam mendisain proses
pembelajaran. Prinsip less is more yaitu perlu keberanian sekolah menata kembali
silabus dan membuat pemetaan kompetensi dasar sehingga guru dapat menentukan mana
yang bersifat kosmetik dan mana yang substansi pelajaran mumpung sekolah diberi
otonomi untuk menghidupkan sebuah kurikulum.
Jangan sampai guru dipasung kreativitas daya ciptanya. (r.riantoby).